Silahkan mampir juga ke situs cara cepat hamil . Hatur nuhun anda sudah mengunjungi Mengingatkan Kembali Pentingnya Good Governance dalam Sepakbola Kita
Sudah beku, lalu buntu. Begitulah pertemuan antara Menteri Pemuda dan Olahraga dengan PT Liga Indonesia beserta klub-klub peserta Liga QNB 2015 Senin (27/4) kemarin, tepat sepuluh hari pasca pembekuan PSSI (17/4).
Walaupun, beku, buntu dan seolah-olah tidak ada jalan keluar, saya justru berpikir sebaliknya. Mungkin ini titik balik reformasi sepakbola Indonesia, khususnya perihal tata kelola yang baik -- istilah baratnya; good governance (GG). Selanjutnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip dan kata kunci dalam setiap perubahan GG. Dalam fase ini, keterbukaan, keterlibatan stakeholder dan partisipasi masyarakat menjadi batu uji pelaksanaan GG.
Mengapa saya percaya kebuntuan kemarin adalah titik balik, karena menurut saya ada hasil lebih krusial namun tertutup dengan pemberitaan deadlock dan ramainya #AkuiDuluPSSI di media sosial. Bahwa ketegasan Kemenpora mendorong perbaikan GG dan adopsi prinsip transparansi (tertuang dalam poin nomor 8 pernyataan resmi Kemenpora setelah pertemuan dengan PT. LI dan klub) yaitu: a). PT. Liga wajib membuka nilai kontrak komersial dengan BV Sport dan QNB. b). PT. Liga membuka berapa pembagian hak-hak komersial yang akan diterima oleh klub. c). PT. Liga menjelaskan kapan dan bagaimana hak lub dibayarkan sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
Komitmen di atas kemudian dijelaskan lagi pada no. 9 bahwa tujuan perbaikan GG dan menegakkan prinsip transparansi disebutkan oleh Kemenpora bertujuan untuk penguatan stakeholder sepakbola khususnya klub dan pemain, pelatih serta ofisial. PT. Liga menurut Kemenpora harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memenuhi hak-hak klub. Jika hak-hak klub tidak jelas, bagaimana perhitungan dan prosentasenya dan kemudian juga kapan akan dipenuhi, maka klub akan kesulitan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Ujung-ujungnya, hak-hak pemain, pelatih dan ofisial yang akan dikorbankan. Begitulah tuntutan dan sekaligus kekhawatiran Kemenpora.
Lebih jauh, fase Kemenpora mendesak PT. LI untuk transparan merupakan sambungan rantai proses GG yang telah dilakukan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mendobrak GG di tingkat klub yaitu perihal laporan keuangan, NPWP, pajak dan tunggakan gaji pemain. Inilah fase awal yang harusnya berkelanjutan. Bagaimanapun, PT. LI sebagai operator kompetisi, yang sahamnya dimiliki oleh klub, harus bertanggung jawab memenuhi kewajiban terhadap klub-klub.
Pertanyaannya, kenapa klub-klub saat pertemuan kemarin justru lebih vokal meneriakkan tentang pengakuan PSSI yang sudah beku. Padahal, sebenarnya klub-klub justru telah dibela dan dijamin hak-haknya oleh Kemenpora dalam poin No. 8 dan 9. Menurut saya ini hal yang aneh.
Logika aneh ini juga sebelumnya pernah dirasakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saat itu Ahok melalui salah satu BUMD Jakarta yaitu PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) ingin membeli saham PT. Persija. Saat tawar menawar harga, Ahok tidak keberatan jika harus membeli dengan nilai ratusan miliar rupiah karena Persija kedapatan masih terikat utang hingga Rp 76 miliar. Ahok bahkan berani membeli Rp 100 miliar, jika manajemen Persija terbuka dan berkomitmen untuk perbaikan manajerial, agar ke depan mendapat banyak keuntungan dengan pengelolaan bisnis industri olahraga. Yang kemudian membuat Ahok heran, dengan tawaran investasi yang besar, manajemen Persija justru menolak dan tidak melanjutkan proses investasi dan pembelian.
Aneh rasanya, ada investor malah ditinggal lari. Di luar negeri, investor yang mau menanam modal di bidang sepakbola terus dicari. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena selama ini klub-klub tidak pernah menerapkan GG. Kenapa demikian, karena dalam pelaksanaan GG, harus ada komitmen transparansi dan akuntabilitas yang mengikat kepada publik dan stakeholder, dalam hal ini misalnya investor. Mungkin, kebiasaan yang ada saat ini, klub lebih suka menerima dana dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan membelanjakannya semaunya tanpa ada keterikatan transparansi dan akuntabilitas.
Untuk memutus logika sesat inilah desakan publik terkait GG dan transparansi kadang menjadi penting untuk mendorong kesadaran berpikir manajemen klub. Dalam konteks federasi, yaitu PSSI, proses mendorong transparansi dan akuntabilitas telah dilakukan secara hormat dan konstitusional oleh Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI). Upaya FDSI ini mungkin satu-satunya di dunia, bagaimana suporter dapat menggugat dan menang melawan federasi. Ini bisa terjadi karena di Indonesia, ada Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008. Dalam UU ini, PSSI dikategorikan sebagai badan publik (nonpemerintah) karena mendapatkan dana dari APBN, menggunakan fasilitas publik dan memperoleh dana dari masyarakat.
Kemenangan pertama FDSI diraih dalam sidang panjang majelis Komisi Informasi Pusat (KIP) sekitar Desember 2014. KIP memutuskan PSSI harus membuka laporan keuangan yaitu, tentang kontrak PSSI dengan stasiun televisi terkait hak siar tim nasional U-19, timnas U-23, dan timnas senior. Selain itu federasi juga harus membuka pengelolaan dana hak siar dan kerjasama sponshorship, rincian keuangan dan hasil audit keuangan PSSI, serta rincian laporan keuangan penyelenggaraan Kongres.
sumber berita Mengingatkan Kembali Pentingnya Good Governance dalam Sepakbola Kita : detik.com
Walaupun, beku, buntu dan seolah-olah tidak ada jalan keluar, saya justru berpikir sebaliknya. Mungkin ini titik balik reformasi sepakbola Indonesia, khususnya perihal tata kelola yang baik -- istilah baratnya; good governance (GG). Selanjutnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip dan kata kunci dalam setiap perubahan GG. Dalam fase ini, keterbukaan, keterlibatan stakeholder dan partisipasi masyarakat menjadi batu uji pelaksanaan GG.
Mengapa saya percaya kebuntuan kemarin adalah titik balik, karena menurut saya ada hasil lebih krusial namun tertutup dengan pemberitaan deadlock dan ramainya #AkuiDuluPSSI di media sosial. Bahwa ketegasan Kemenpora mendorong perbaikan GG dan adopsi prinsip transparansi (tertuang dalam poin nomor 8 pernyataan resmi Kemenpora setelah pertemuan dengan PT. LI dan klub) yaitu: a). PT. Liga wajib membuka nilai kontrak komersial dengan BV Sport dan QNB. b). PT. Liga membuka berapa pembagian hak-hak komersial yang akan diterima oleh klub. c). PT. Liga menjelaskan kapan dan bagaimana hak lub dibayarkan sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
Komitmen di atas kemudian dijelaskan lagi pada no. 9 bahwa tujuan perbaikan GG dan menegakkan prinsip transparansi disebutkan oleh Kemenpora bertujuan untuk penguatan stakeholder sepakbola khususnya klub dan pemain, pelatih serta ofisial. PT. Liga menurut Kemenpora harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memenuhi hak-hak klub. Jika hak-hak klub tidak jelas, bagaimana perhitungan dan prosentasenya dan kemudian juga kapan akan dipenuhi, maka klub akan kesulitan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Ujung-ujungnya, hak-hak pemain, pelatih dan ofisial yang akan dikorbankan. Begitulah tuntutan dan sekaligus kekhawatiran Kemenpora.
Lebih jauh, fase Kemenpora mendesak PT. LI untuk transparan merupakan sambungan rantai proses GG yang telah dilakukan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mendobrak GG di tingkat klub yaitu perihal laporan keuangan, NPWP, pajak dan tunggakan gaji pemain. Inilah fase awal yang harusnya berkelanjutan. Bagaimanapun, PT. LI sebagai operator kompetisi, yang sahamnya dimiliki oleh klub, harus bertanggung jawab memenuhi kewajiban terhadap klub-klub.
Pertanyaannya, kenapa klub-klub saat pertemuan kemarin justru lebih vokal meneriakkan tentang pengakuan PSSI yang sudah beku. Padahal, sebenarnya klub-klub justru telah dibela dan dijamin hak-haknya oleh Kemenpora dalam poin No. 8 dan 9. Menurut saya ini hal yang aneh.
Logika aneh ini juga sebelumnya pernah dirasakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saat itu Ahok melalui salah satu BUMD Jakarta yaitu PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) ingin membeli saham PT. Persija. Saat tawar menawar harga, Ahok tidak keberatan jika harus membeli dengan nilai ratusan miliar rupiah karena Persija kedapatan masih terikat utang hingga Rp 76 miliar. Ahok bahkan berani membeli Rp 100 miliar, jika manajemen Persija terbuka dan berkomitmen untuk perbaikan manajerial, agar ke depan mendapat banyak keuntungan dengan pengelolaan bisnis industri olahraga. Yang kemudian membuat Ahok heran, dengan tawaran investasi yang besar, manajemen Persija justru menolak dan tidak melanjutkan proses investasi dan pembelian.
Aneh rasanya, ada investor malah ditinggal lari. Di luar negeri, investor yang mau menanam modal di bidang sepakbola terus dicari. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena selama ini klub-klub tidak pernah menerapkan GG. Kenapa demikian, karena dalam pelaksanaan GG, harus ada komitmen transparansi dan akuntabilitas yang mengikat kepada publik dan stakeholder, dalam hal ini misalnya investor. Mungkin, kebiasaan yang ada saat ini, klub lebih suka menerima dana dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan membelanjakannya semaunya tanpa ada keterikatan transparansi dan akuntabilitas.
Untuk memutus logika sesat inilah desakan publik terkait GG dan transparansi kadang menjadi penting untuk mendorong kesadaran berpikir manajemen klub. Dalam konteks federasi, yaitu PSSI, proses mendorong transparansi dan akuntabilitas telah dilakukan secara hormat dan konstitusional oleh Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI). Upaya FDSI ini mungkin satu-satunya di dunia, bagaimana suporter dapat menggugat dan menang melawan federasi. Ini bisa terjadi karena di Indonesia, ada Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008. Dalam UU ini, PSSI dikategorikan sebagai badan publik (nonpemerintah) karena mendapatkan dana dari APBN, menggunakan fasilitas publik dan memperoleh dana dari masyarakat.
Kemenangan pertama FDSI diraih dalam sidang panjang majelis Komisi Informasi Pusat (KIP) sekitar Desember 2014. KIP memutuskan PSSI harus membuka laporan keuangan yaitu, tentang kontrak PSSI dengan stasiun televisi terkait hak siar tim nasional U-19, timnas U-23, dan timnas senior. Selain itu federasi juga harus membuka pengelolaan dana hak siar dan kerjasama sponshorship, rincian keuangan dan hasil audit keuangan PSSI, serta rincian laporan keuangan penyelenggaraan Kongres.
No comments:
Post a Comment